Berita  

329 Honorer Non-Database Mengadu ke Pemkot, Adhan Dampingi Perjuangan Status Kepegawaian

banner 120x600

Rekam Fakta, Gorontalo — Sebanyak 329 tenaga honorer non-database yang selama ini berada di bawah Pemerintah Provinsi Gorontalo mendatangi Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, pada Ahad malam (30/11/2025). Mereka meminta bantuan setelah bertahun-tahun memperjuangkan kejelasan status kepegawaian tanpa hasil, bahkan sebagian telah mengabdi hingga lebih dari 15 tahun.

Para tenaga honorer tersebut sebelumnya telah berupaya melalui berbagai jalur, termasuk menemui pihak Pemprov Gorontalo, kementerian terkait di Jakarta, hingga Badan Kepegawaian Negara (BKN). Namun upaya itu belum membuahkan titik terang.

Mereka gagal terdaftar pada pendataan honorer nasional 2022 dengan alasan penempatan kerja di sekolah swasta tidak terhubung dengan sistem nasional, meskipun mereka menerima SK Pemerintah Provinsi dan menerima gaji melalui APBD.

“Kami tidak bisa ikut seleksi karena tidak masuk database. Ketika ada formasi tambahan, itu hanya untuk yang terdata,” ungkap salah seorang guru saat dialog berlangsung.

Situasi semakin sulit ketika pada 2023 pemerintah pusat memberi peluang bagi daerah untuk mengusulkan formasi PPPK. Namun, Pemprov Gorontalo tidak mengusulkan formasi sama sekali sehingga kesempatan kembali tertutup. Pada gelombang tambahan di akhir 2024, aturan tetap hanya berlaku bagi tenaga yang sudah berada dalam database.

Jika SK mereka tidak diperpanjang pada 2026, seluruh guru honorer non-database ini terancam kehilangan pendapatan dan status kerja.

Wali Kota Adhan menyayangkan situasi tersebut dan menilai perlu ada langkah bersama antar kepala daerah di Gorontalo untuk memperjuangkan solusi konkret.

“Nasib mereka sangat memprihatinkan. Ada yang mengabdi sejak 2007, namun hingga sekarang tidak jelas statusnya,” ujar Adhan.

Ia memastikan akan membawa persoalan ini langsung ke BKN dalam waktu dekat untuk mencari peluang skema penempatan, termasuk opsi PPPK paruh waktu sebagai jalan tengah.

Adhan juga mengimbau agar tidak ada pihak sekolah maupun instansi yang memberikan intimidasi kepada guru yang datang menyampaikan aspirasi.

“Mereka datang bukan untuk membuat gaduh, tetapi memperjuangkan hak dan masa depan keluarga. Mereka harus didengar dan dibantu,” tegasnya.

Para tenaga honorer terlihat lega setelah mendapatkan dukungan tersebut. Beberapa bahkan berharap agar keberpihakan serupa lahir dari seluruh pemangku kebijakan di tingkat provinsi.

Pertemuan ini menjadi momentum baru bagi upaya advokasi status tenaga honorer non-database yang selama ini belum tersentuh kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. (Adv)