Rekamfakta.com, Kabupaten Gorontalo Utara – Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo Utara tidak main-main dalam dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi di Kabupaten Gorontalo Utara. Kamis, (17/09/2020).
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo Utara, Ruly Lamusu, SH., saat ditemui wartawan rekamfakta.com di Aula Kantor Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo Utara pada Rabu, (16/09/2020),
Belum lama ini, Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo Utara resmi menahan salah satu oknum mantan Kepala Desa Tanjung Karang berinisial HT, yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka pada dugaan kasus pemerasan dalam jabatan atau biasa yang disebut Pungli (Pungutan Liar).
Menurut Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo Utara, Ruly Lamusu, SH. HT ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus pemerasaan jabatan, yang diduga dilakukakannya sejak tahun 2016 sampai 2018, yang pada saat itu dirinya menjabat sebagai Kepala Desa Tanjung Karang,
“Jadi, untuk penetapan tersangka, berdasarkan surat No. Print-259/P.5.15/Fd.1/07/2020, yang ditetapkan di Kwandang pada tanggal 06 Juli 2020, yang mana pada saat proses penyidikan saat itu, kami menemukan dua alat bukti berupa keterangan saksi dan surat petunjuk,” tutur Ruly
Kemudian Ruly menjelasakan, dengan ditetapkannya tersangka HT pada waktu itu, maka berkas perkara atas kasus dugaan pemerasan dalam jabatan itu, dinyatakan lengkap dan P2 1,
“Dengan ditetapkannya HT selaku mantan Kepala Desa Tanjung Karang, pada tanggal 06 Juli 2020. Maka berkas perkara dinyatakan lengkap dan P2 1, sehingga kemarin tanggal 14 telah dilakukan penyerahan dari jaksa penyidik kepada jaksa peneliti, untuk dipersiapkan untuk dilimpahkan ke Pengadilan, jelas Ruly
Lebih lanjut Ruly menjelaskan, HT saat menjabat sebagai Kepala Desa Tanjung Karang diduga telah melakukan pemerasan dalam jabatan, dimana saat itu dirinya dengan jabatannya diduga memeras penerima uang ganti rugi pembebasan lahan proyek PLTU Tanjung Karang,
“Saat pembayaran uang ganti rugi pembebasan lahan atas proyek pembangunan PLTU dari pihak GLP kepada penerima ganti rugi, tersangka melakukan pemotongan 10% dan 5%. Apabila penerima ganti rugi tidak setuju, maka surat keterangan hak kepemilikan tanah tidak akan dikeluarkannya,” jelas Ruly lagi.
Ruly menambahkan, jika pada persidangan terhadap tersangka nanti akan terungkap fakta-fakta lain yang akan diakui oleh tersangka, maka pihak kejaksaan akan melakukan pengembangan lagi atas kasus tersebut,
“Jika pada persidangan nanti akan terungkap fakta-fakta lain lagi dari tersangka, maka kami akan melakukan pengembangan lagi atas siapa-siapa saja yang turut terlibat dalam kasus ini, siapapun dia akan kami kejar,” pungkasnya.
HT dalam kasus ini dijerat dengan pasal 12E UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah), dan Pasal 64 KUHP. (MYP/RF)














