Penulis : Irfan Kahar || Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Rekam Fakta, Opini – Pemerintah Indonesia saat ini resmi menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% untuk barang dan jasa mewah. Meskipun bertujuan meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini tidak sama sekali “Pro” terhadap kepentingan rakyat, sebaliknya, ini hanya akan menambah beban masyarakat dalam membayar pajak.
Dikhawatirkan, kenaikan PPN akan memperburuk kondisi ekonomi, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.
Belajar dari peristiwa “Covid 19” beberapa tahun kemarin, fenomena ini sangat mempengaruhi kondisi ekonomi kita, bahkan mempengaruhi juga dari sektor pendidikan, Infrastruktur, dan politik.
Efek dan dampak dari Covid 19 oleh sebagian masyarakat masih dirasakan sampai saat ini, sekarang ditambah lagi kebijakan pemerintah yang menaikan PPN sebanyak 12%.
Dari segi industri para pengusaha juga akan kewalahan karena kenaikan PPN ini akan meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Selain itu, dampak negatif dari kenaikan PPN 12% juga meliputi :
- Peningkatan harga barang-barang;
Kenaikan PPN akan memicu peningkatan harga barang-barang, terutama barang-barang mewah. - Pengurangan konsumsi;
Masyarakat akan mengurangi konsumsi barang-barang mewah, berdampak pada penurunan penjualan. - Pengurangan investasi;
Pengusaha akan mengurangi investasi karena biaya produksi meningkat. - Peningkatan pengangguran;
Perusahaan mungkin melakukan pemutusan hubungan kerja untuk menghemat biaya. dan masi banyak dampak negatif lainya.
Sehingganya, tujuan penulis dalam menyuarakan persoalan ini agar Pemerintah Republik Indonesia khususnya Presiden Prabowo Subianto dapat mempertimbangkan kembali keputusannya terkait kenaikan PPN 12%.
Terakhir, besar harapan kami agar pemerintah dapat menyediakan solusi alternatif untuk pendapatan negara tanpa harus menaikan PPN sebanyak 12%.