Oleh : Ali Mobiliu
Video Pidato Bupati Dariws Moridu pada Apel hari pertama masuk kerja setelah libur Hari Raya Idul Fitri 1441 H, Senin (25/5) menjadi viral di Media Sosial. Bupati Boalemo Darwis Moridu dalam video itu mencak-mencak “menjewer” Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan kata-kata yang kurang mengenakkan untuk didengar. Bupati yang berlatarbelakang pengusaha itu dengan nada emosi menuding kebanyakan ASN terutama eselon II yang katanya “gelojo” Asal Bapak Senang (ABS), munafik dan dibumbui dengan kata-kata atau istilah dalam Bahasa Gorontalo yang memang sepintas tidak layak terucap dari seorang Ta’uwa Lo Lipu.
Memang tidak hanya kali ini Bupati Darwis menunjukkan tempramen yang keras. Tahun lalu misalnya, ia juga sempat meluapkan amarahnya ketika Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang datang terlambat pada pembagian sembako di salah satu desa di Boalemo. Ketika itu ia marah karena rakyat harus menunggu berjam-jam hanya untuk mendapatkan sembako. Disitu sangat jelas terlihat, BupatI Darwis membela dan berpihak pada rakyatnya.
Hanya saja, terkadang para netizen atau masyarakat terjebak pada penilaian hanya dari aspek “etika” pemimpin dan kepemimpinan, ketimbang substansi yang menjadi sumber kemarahan dari seorang pemimpin. “ada asap pasti ada api”, tapi terkadang kita hanya fokus mengutuk asap dan melupakan api sebagai sumber persoalan. Dari aspek “etis”, seorang pemimpin adalah juga manusia biasa. Grafik emosinya bisa saja naik turun, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapinya. Jadi tuntutan ideal dari aspek etis seorang pemimpin, tidak sepenuhnya memuaskan publik.
BERITA POPULER
Dalam sejarah kepemimpinan di Indonesia, mulai dari gaya kepemimpinan Soekarno, Soeharto sampai pada kepemimpinan Jokowi saat ni, sangat jelas terlihat masing-masing memiliki karakter kepemimpinan yang berbeda-beda. Dalam meluapkan rasa amarah atau ketidaksukaan pada sesuatu misalnya, setiap pemimpin memiliki cara berekspresi, tergantung karakter kepemimpinan yang menjadi ciri khas yang melekat pada pribadi pemimpin itu sendiri. Mendiang Presiden Seokarno ketika marah bisa meledak-ledak dengan suara tegas dan lantang.
Mendiang Presiden Soeharto berbeda lagi, Presiden kedua RI itu ketika marah, hanya memberi isyarat lewat bahasa tubuh dan tatapan mata dan bahkan cenderung diam. Mantan Presiden SBY ketika marah, biasanya hanya curhat di forum-forum tertentu dengan bahasa tubuh dan intonasi kalimat yang memelas. Yang paling fenomenal adalah karakter kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama atau Ahok yang ketika marah, suaranya meledak-ledak dengan mata melotot yang diikuti dengan kata-kata makian.
Yang jelas, karakter atau dalam Bahasa Gorontalo disebut “Watade” sangat menentukan “cara berekspresi” pemimpin ketika senang dan marah sekalipun. Karakter Bupati Darwis Moridu nampaknya terkesan memiliki kemiripan dengan mantan Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa Ahok. Dalam memori publik pasti masih terngingiang-ngiang, bagaimana Ahok marah dan mencak-mencak dengan kata-kata “Tai” dan semacamnya yang terlontar begitu saja tanpa ada beban apa-apa.
Pertanyaannya, Apakah cara berekspresi ketika marah seperti itu akang hilang dari diri Ahok setelah tidak jadi Gubernur? Belum tentu, karena hal itu sudah menjadi karakter dan ciri khasnya. Karakter adalah akumulasi dari watak, kepribadian serta sifat yang dimiliki seseorang yang terbentuk secara tidak langsung dari proses kehidupan yang dilaluinya. Karakter bukan bawaan dari lahir, namun terbentuk dari dominasi lingkungan dimana ia hidup dan orang-orang di sekitarnya. Doni Kusuma dalam sebuah artikelnya mendefinsikan karakter sebagai gaya, sifat, ciri, maupun karakteristik yang dimiliki seseorang yang berasal dari pembentukan ataupun tempaan yang didapatkannya melalui lingkungan yang ada di sekitar.
Darwis Moridu adalah seorang pengusaha yang merintis usahanya dari nol besar sebagai pedagang tengkulak yang dalam Bahasa Gorontalo “balantde” yang harus siap menghadapi kerasnya persaingan dengan pedagang lain dan kerasnya kehidupan. Menjadi “Balandte” itu tidak mudah, harus keras, terbuka, jujur dan tampil apa adanya. Ia juga sudah pasti terbiasa menghadapi petani yang “lugu, polos” dan sering dipersepsikan sebagai “orang bodoh dan tidak terpelajar”.
Dari perjalanan hidupnya itulah, maka tidak heran, jika Bupati Darwis Moridu disatu sisi hendak menghadirkan kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Ia mengenal betul bagaimana rakyat kecil berjuang untuk hidup di tengah himpitan ekonomi dengan penghasilan yang pas-pasan. Namun di sisi yang lain, di tengah upayanya merealisasikan komitmen untuk rakyat kecil itu, ia mendapati kenyataan bahwa kinerja ASN tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan dan harapannya. Sayangnya, ketidakpuasan terhadap kinerja aparatur diungkap secara vulgar, blak-blakan dan cenderung mengeneralisir dengan kalimat-kalimat yang tidak terstruktur.
Namun lagi-lagi, hal ini sangat terkait erat dengan karakter seorang Darwis Moridu yang mungkin bagi sebagian kalangan dianggap terlampau jujur dan apa adanya. Jujur dan apa-adanya, ya.. karena tidak bisa dipungkiri, apa yang terucap dari Bupati Darwis, meski cenderung terlampau vulgar, kasar dan terkesan “Sapu rata” namun menyentuh substansi, mengena dan ada benarnya juga.
Tudingan Bupati terhadap pejabat eselon II yang bermental Asal Bapak Senang (ABS), memang sudah menjadi rahasia umum. Hanya saja, ungkapan “ASN gelojo”, munafik dan kurang ajar”, itu masih perlu diperdebatkan, karena hal itu terkait erat dengan “personal dan oknum”. Tidak semua seperti itu. Namun ibarat pepatah, “Karena Nila setitik, rusak susu sebelanga”. Atau bisa saja Bupati Darwis Moridu meminjam slogan salah satu stasiun televisi “satu untuk semua”, satu kesalahan yang dilakukan oleh seorang ASN, berpotensi juga akan dilakukan oleh ASN yang lain. Itulah sebabnya, tudingan dan kemarahan menjadi bersifat general yang diperuntukkan untuk semua. Oleh karena itu, ASN ke depan lebih mawas diri untuk saling menjaga, yakni menjaga ruh dan nama baik institusi Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).
Yang menarik dari ungkapan Darwis Moridu adalah tentang sikap ASN yang “Hewa’upa hutu” Hewa’upa hu’u” di hadapan Bupati. Dalam tataran masyarakat Gorontalo, istilah ini termasuk bagian dari “Lumadu” yang mengandung arti, sindiran terhadap orang yang terlampau sopan, tunduk, merunduk-runduk sembari tangannya menyilang di atas selangkangan atau dijepit dengan paha di hadapan atasan dengan maksud tertentu. Atau juga merapatkan pahanya sembari memegang atau mengusap-ngusap lutut. Biasanya juga, orang yang berkepentingan mendekat, sembari memegang lutut pejabat atau atasannya untuk membujuk, merayu seakan dekat agar hati seseorang atau atasannya menjadi luluh.
Memang sikap seperti ini tidak bisa dipungkiri, juga menggejala, tidak hanya di dunia pemerintahan, tapi juga di dunia perusahaan dan bahkan di tengah masyarakat sekalipun. Sikap seperti ini dapat ditemui sebagai sifat manusiawi yang terkadang harus “menghamba”. Fenomena ini juga ditengarai merupakan bagian dari mentalitas warisan penjajah Belanda yang menempatkan aparatur pribumi sebagai kalangan elit di tengah masyarakat. Aparatur Belanda yang berasal dari kalangan pribumi ini kemudian menempatkan diri sebagai “kaum bangsawan” dalam istilah Gorontalo “bangusa”.
Lantas, mereka bangga, merasa diri mereka sebagai kasta yang mulia dan terhormat. Akibatnya, mentalitas untuk dilayani bukan melayani menjadi ciri aparatur di era penjajahan Belanda. Mungkin karena terlalu lama dijajah oleh Belanda, mentalitas ini sulit hilang dalam tataran kehidupan kebangsaan, kendati paradigma pemerintahan telah berubah yang dipresentasikan melalui slogan KORPRI, Abdi negara dan abdi masyarakat, yakni tugas dan fungsi utama aparatur pemerintahan adalah mengabdi kepada negara dan masyarakat. Abdi sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang kata kasarnya adalah “budak”.
Ungkapan “Munafik” yang terlontar dari Bupati Darwis Moridu dapat dicermati mungkin bersumber dan dipicu oleh sikap paradoks ASN. Artinya, dihadapan Bupati/Walikota atau Gubernur, (Eselon II) sangat sopan dan ramah, merunduk-runduk (Hewa’upa hutu, hewa’upa hu’u), tapi di tengah masyarakat dan terhadap bawahannya justru sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa Bupati Darwis Moridu tidak suka dengan fenomena “kemunafikan” yang menggejala, seakan sopan terhadap atasan tapi angkuh di tengah masyarakat dan arogan terhadap bawahannya. Bupati tentu memiliki banyak informasi yang menjadi contoh kasus terhadap fenomena tersebut.
Selain itu, tudingan kemunafikan juga muncul karena “dendam politik”. Pada proses Pilkada hingga awal masa jabatannya sebagai Bupati, Darwis Moridu pasti merasakan bagaimana sikap sebagian ASN yang menyambutnya dengan sinisme, pesimisme dan bahkan unjuk rasa, termasuk selorohan sebagai Bupati Paket C dan lain-lain. Namun karena faktor adanya istilah pejabat “Hewa’upa hutu dan hewa’upa hu’u” dan demi jalannya pemerintahan, Bupati Darwis mengenyampingkan “dendam” dengan tetap mengakomodir dan merekrut ASN yang berseberangan tersebut di pemerintahan. Namun dalam perjalanannya karena kinerja pejabat yang bersangkutan tidak memuaskan, Bupati Darwis kemudian melakukan non job dan mutasi sesuai prosedur dan mekanisme yang ada. Ketika pejabat yang dinonjob mem PTUN kan Bupati, disitulah sumber kemarahan itu terjadi dan parahnya, hal itu digeneralisir dan disampaikan secara vulgar tanpa tedeng aling-aling.
Yang jelas, Bupati Darwis saat ini hendak menunjukkan “power” paket C nya di hadapan ASN yang nota bene S1, S2, S3. “Nggo to Le Laka huwango”, Itu artinya, Darwis Moridu hendak menunjukkan kepada ASN bahwa “sejelek-jeleknya pemimpin, dia adalah pemimpin” yang harus didengar dan dipatuhi perintahnya sepanjang perintah itu untuk kepentingan rakyat.
Aspek lainnya yang menarik dari penyampaian Bupati Darwis Moridu adalah terkait dengan nasibnya pada perhelatan Pemilihan Kepala Daerah yang “tidak takut” jika tidak didukung oleh ASN. Hal ini justru positif, karena memang ASN harus independen dan dilarang berpolitik praktis. Dalam hal ini Darwis Moridu menegaskan, ASN fokus melayani rakyat dan “jangan ngelunjak” seakan-akan dibutuhkan Bupati dalam Pilkada. Yang penting bagi Darwis Moridu adalah dukungan dari rakyat.
Hal itu juga menjadi pesan bagi Bupati di daerah lain yang kebetulan akan maju pada Pilkada untuk tidak “memanjakan” ASN kemudian melupakan kepentingan rakyat. Rakyat adalah di atas segala-galanya. Ungkapan Bupati Darwis yang mengatakan, berapa sih jumlah ASN dibandingkan dengan rakyat Boalemo yang 90 ribu jumlahnya, merupakan isyarat bahwa ia lebih mengutamakan rakyat. Itu artinya jika ada Bupati incumbent yang mencoba “memanjakan” dan mengiming-imingi ASN, itu berarti ada niatan mengeksploitasi aparatur untuk kepentingan Pilkada.
Memang dalam dunia pemerintahan, seorang pemimpin ideal adalah pemimpin yang menjadi panutan dan teladan di tengah masyarakat, terutama dari aspek etika dan moral. Tidak heran jika ada pemimpin yang mendapat julukan “Pemimpin yang santun”, “pemimpin yang sejuk” dan semacamnya. Namun di era saat ini, terkadang kita juga butuh pemimpin yang “keras”, pemimpin yang apa adanya, blak-blakan dan berani melawan arus. Jika di Jakarta pernah ada Ahok, di Sulawesi Utara ada Sehan Landjar, di Jawa ada Bupati Lumajang, di Surabaya ada Walikota Risma, maka di Gorontalo, kita nampaknya butuh seorang Bupati Darwis Moridu.
Paling tidak “suaranya” akan mewakili rintihan “Bupati atau Walikota” yang terlanjur “Jaim” atau tidak berani mendamprat aparaturnya yang suka “bermain-main”, hanya karena demi tuntutan etika dan sebagainya. Lebih baik menjadi pemimpin seperti buah durian, berduri di luar tapi manis di dalam, dari pada menjadi buah kedondong, halus di luar asem di dalam” Hanya saja, orang-orang dekat Bupati sesekali harus membisikkan, dimana, harus bagaimana dan dengan siapa Bupati harus keras agar tidak menjadi bumerang dan tidak terkesan salah kaprah.(***)
Artikel ini dikirim langsung oleh Penulis ke Redaktur Rekam Fakta