Penulis: Syarlan Kiai
Rekam Fakta, Opini – Bone Bolango semestinya sedang berlari menuju masa depan baru. Sejak dilantik pada Februari lalu oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pasangan Ismet Mile dan Risman Tolingguhu digadang-gadang menjadi duet ideal untuk membawa daerah ini menuju visi besar “Bone Bolango Unggul, Maju, dan Sejahtera.”
Namun, belum genap satu tahun memimpin, hubungan keduanya retak di tengah jalan. Konflik yang awalnya berembus pelan kini pecah ke permukaan, isu perebutan jatah proyek menjadi bara di tengah kursi kekuasaan.
Yang lebih memalukan, beredar rekaman percakapan yang menyebut nama anak Bupati Ismet Mile, diduga terlibat dalam pengaturan proyek pemerintah daerah.
Apa yang sejatinya terjadi di Bone Bolango?
Apakah kekuasaan yang baru tumbuh ini sudah berubah menjadi ladang bagi kepentingan keluarga dan kroni politik?
Kekuasaan yang Tergelincir dalam “Proyekisme”
Konflik antara Ismet Mile dan Risman Tolingguhu tampaknya bukan sekadar perbedaan pandangan pembangunan. Sumber di lingkaran birokrasi menyebut, ketegangan bermula ketika muncul tekanan dari pihak tertentu untuk “mengamankan” proyek-proyek strategis tahun anggaran berjalan.
Dalam dinamika pemerintahan daerah, proyek selalu menjadi medan paling sensitif. Di situlah uang, kekuasaan, dan loyalitas bertemu.
Dan di Bone Bolango, aroma itu kini kian menyengat.
Beredarnya rekaman yang menyebut keterlibatan anak Bupati memperkuat dugaan bahwa proyek pemerintah tidak lagi dipandang sebagai instrumen pembangunan, melainkan sebagai “jatah” yang harus dibagi.
Visi yang Retak
Ketika Ismet dan Risman diambil sumpahnya, masyarakat Bone Bolango menaruh harapan besar. Visi dan misi mereka terdengar ideal dan membumi yaitu Mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul dan berbudaya. Meningkatkan kemandirian ekonomi berbasis potensi lokal seperti pertanian, pertambangan, pariwisata, perdagangan, dan jasa. Menumbuhkan budaya inovasi dan pemanfaatan teknologi informasi.
Tiga pilar ini sejatinya menjadi fondasi untuk mengantar Bone Bolango ke arah pemerintahan modern, transparan, dan berdaya saing.
Namun, yang terjadi kini justru sebaliknya, visi itu terhenti di spanduk, sementara praktik politik yang berjalan mencerminkan mental kekuasaan lama, berebut pengaruh, berebut proyek, dan berebut dominasi.
Konflik antara Bupati dan Wakil Bupati bukanlah hal baru dalam politik lokal. Tetapi ketika konflik itu muncul karena urusan proyek dan dugaan keterlibatan keluarga, maka yang rusak bukan hanya hubungan personal dua pejabat, melainkan juga kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah.
Etika Pemerintahan yang Gagal
Dalam teori etika politik, seorang pejabat publik tidak hanya diukur dari kemampuan teknokratisnya, tetapi juga dari moralitas dalam menggunakan kekuasaan.
Etika pemerintahan menuntut agar pemimpin daerah menjaga jarak antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Ketika anak, istri, atau kerabat ikut bermain dalam lingkaran proyek, maka batas itu otomatis runtuh.
Kasus yang kini mencuat di Bone Bolango, dengan beredarnya rekaman yang menyebut nama anak bupati, menjadi sinyal kuat bahwa politik keluarga masih mengakar dalam birokrasi daerah. Fenomena ini menciptakan budaya patronase yang berbahaya, di mana loyalitas pejabat bawahan bukan lagi kepada sistem dan aturan, tetapi kepada figur dan keluarganya.
Padahal, jika kita kembali pada sumpah jabatan, seorang bupati dan wakil bupati berjanji untuk “mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan.” Namun dalam praktiknya, sumpah itu kerap berubah menjadi slogan kosong.
Ketika Pimpinan Berebut Proyek
Konflik internal pemerintahan daerah sering berakar pada satu hal, pembagian kekuasaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi.
Dalam konteks Bone Bolango, isu proyek menjadi titik api. Dugaan intervensi dari pihak keluarga Bupati memancing respon Wakil Bupati Risman Tolingguhu, yang tidak terima dengan permainan anak Bupati Ismet.
Fenomena ini menunjukkan lemahnya budaya kolektif dalam memimpin. Padahal, konsep kepemimpinan dua kepala daerah (Bupati-Wakil Bupati) diciptakan agar ada keseimbangan dan saling kontrol. Yang terjadi justru sebaliknya, relasi Bupati dan Wakil Bupati berubah menjadi kompetisi diam-diam, di mana yang satu ingin mendominasi, sementara yang lain merasa dimarginalkan.
Dalam situasi seperti ini, rakyat Bone Bolango pasti menjadi korban.
Program macet, anggaran tak terserap optimal, dan visi pembangunan berubah menjadi arena pertarungan kepentingan.
Visi Misi yang Tergadai?
Jika menilik kembali dokumen visi dan misi “Menuju Bone Bolango Unggul, Maju, dan Sejahtera”, sangat jelas bahwa fokus utama pasangan Ismet–Risman adalah pembangunan manusia dan kemandirian ekonomi.
Namun, bagaimana mungkin visi itu bisa dijalankan jika energi pemerintahan justru habis untuk berdebat soal siapa yang berhak mengatur proyek?
Inilah bentuk pengkhianatan terhadap kontrak sosial dengan rakyat.
Pemimpin daerah bukan hanya dipilih untuk memimpin birokrasi, tapi juga untuk menjadi teladan moral dan simbol persatuan.
Ketika dua pemimpin yang seharusnya bersinergi justru berkonflik, pesan yang sampai ke masyarakat adalah “Pemerintah sedang sibuk dengan dirinya sendiri.”
Krisis Kepercayaan dan Dampak Sosial
Dampak dari konflik di pucuk pimpinan Bone Bolango bukan sekadar pada citra pemerintahan, tetapi juga pada stabilitas birokrasi. Pegawai ASN menjadi bingung harus loyal ke siapa. Kebijakan sering berubah karena tarik-menarik kepentingan, dan program pembangunan berjalan tanpa arah yang jelas.
Kejadian ini berakibat fatal bagi kabupaten yang tengah menghadapi tantangan besar, mulai dari ketimpangan wilayah, rendahnya daya saing SDM, hingga keterbatasan fiskal daerah. Tanpa sinergi antara Bupati dan Wakil Bupati, sulit membayangkan visi kemandirian ekonomi bisa tercapai.
Lebih dari itu, konflik terbuka juga menciptakan krisis moral di tengah masyarakat. Ketika pemimpin sibuk berebut proyek, rakyat belajar bahwa kekuasaan adalah soal siapa yang kuat, bukan siapa yang benar.
Ini adalah bentuk pendidikan politik yang paling buruk bagi generasi muda Bone Bolango.
Kembali ke Etika dan Akal Sehat
Pemerintahan daerah yang sehat tidak dibangun hanya dengan peraturan dan anggaran, tetapi dengan etika dan akal sehat. Etika yang mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan warisan. Akal sehat yang mengingatkan bahwa pembangunan tidak akan pernah berhasil jika dijalankan dengan dendam dan kecurigaan.
Dalam demokrasi modern, pemimpin daerah bukan hanya diukur dari seberapa banyak proyek yang bisa dijalankan, tapi dari seberapa bersih cara mereka menjalankannya. Bupati yang baik bukan yang mampu membagi proyek untuk keluarga, tapi yang mampu membangun sistem agar semua proyek dikelola secara transparan dan profesional.
Jika Ismet Mile dan Risman Tolingguhu masih ingin dikenang sebagai pemimpin yang membawa perubahan, maka keduanya harus segera mengakhiri konflik personal dan kembali ke jalur visi-misi yang mereka deklarasikan di awal.
Bone Bolango tidak butuh drama politik, tapi butuh kerja nyata.
Tidak butuh pemimpin yang saling serang, tapi butuh pemimpin yang saling mendukung dalam membangun daerah.
Konflik dua kepala daerah bukan sekadar soal personalitas, tapi soal moralitas kekuasaan. Rakyat Bone Bolango memilih Ismet Mile dan Risman Tolingguhu dengan harapan akan lahir duet pemimpin yang kuat, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan publik.
Rakyat Bone Bolango layak mendapatkan pemerintahan yang bersih, profesional, dan berpihak pada kepentingan publik. Bukan pemerintahan yang sibuk berebut proyek sementara rakyatnya menunggu janji-janji perubahan yang tak kunjung datang.