Oleh: Sigit Ibrahim
“Salus populi suprema lex esto”, adagium hukum ini barangkali tepat digunakan untuk menegaskan kembali bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Hal ini pun diakui dan dijamin di dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945, bahwa negara wajib menjamin keberlangsungan hidup warga negara.
Sebagaimana hal tersebut di atas, di era pandemic Covid-19 ini, pemerintah pun senantiasa melakukan yang terbaik dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, guna memitigasi segala kemungkinan yang diakibatkan oleh pandemic ini.
Dimulai dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang diberlakukan di daerah tertentu dengan atas ijin kemenkes. Namun demikian, tentu saja kebijakan ini tidak sepenuhnya ditaati oleh masyarakat sehingga menimbulkan respon dari beberapa kelompok dengan tagar #Indonesia Terserah. Belakangan, ada wacana “New Normal”. Kebijakan ini yang nantinya akan mengubah pola dan perilaku masyarakat di dalam beraktivitas.
Ya, New Normal adalah sebuah diskursus yang belakangan menjadi topik hangat di media social. Adalah presiden Jokowi yang pertama kali menggaungkan wacana New Normal di Indonesia. presiden Jokowi hendak menegaskan bahwa masyarakat harus tetap produktif walau dalam kondisi saat ini.
Terlepas dari pro dan kontra yang sedang hangat diperbincangkan dipelbagai latar media social, penulis lebih tertarik tentang bagaimana dampak penerapan New Normal bisa menimbulkan potensi Abuse of Power (penyalahgunaan kekuasaan) di negeri dengan iklim demokrasi yang katanya kental ini.
Penulis tidak tahu persis apakah penerapan New Normal oleh pemerintah yang digadang-gadang akan segera di berlakukan mulai 1 juni 2020 merupakan pilihan terakhir untuk menjaga roda perekonomian agar tetap jalan.
Sebagaimana dikutip di beberapa sumber, bahwa penerapan New Normal akan tetap memperhatikan protocol kesehatan guna mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 ini. Pendek kalimat, New Normal akan memberikan kebebasan dan keluasaan bagi masyarakat untuk beraktivitas sehingga tetap bisa produktif walau dalam kondisi yang demikian itu.
Namun dalam hemat penulis, penerapan New Normal belum pantas diberlakukan dengan beberapa alasan. Pertama, melihat kurva kasus ini yang belum juga turun. Padahal, salah satu prasyarat untuk memberlakukan New Normal adalah kurva kasus harus nol atau paling tidak harus turun secara signifikan.
Kedua, dengan memberikan kebebasan dan keleluasaan bagi masyarakat untuk beraktivitas diluar dengan alasan tetap produktif tapi tetap memperhatikan protocol kesehatan adalah sebuah keniscayaan. Namun demikian, harus dipahami bahwa kerumunan orang ditempat-tempat tertentu seperti mall, pasar, swalayan dan lain-lain, bukan tidak mungkin akan tetap menimbulkan potensi penyebaran Covid-19.
Ketiga, kita sedang berperang melawan (virus) sesuatu yang tidak terlihat dengan mata telanjang. Olehnya itu, kita memerlukan sebuah strategi yang matang dalam menghadapi setiap ancaman yang ada. Mengacu pada pemberlakuan PSBB di beberapa daerah, stratergi ini masih jauh dari harapan.
Keempat, jatuhnya korban jiwa yang terus mengalami kenaikan yang cukup drastis dalam beberapa hari belakangan akibat pandemic, juga patut untuk dijadikan sebagai pelajaran. Selain itu, bukan tidak mungkin dengan jatuhnya korban jiwa yang disebabkan atas kelalaian prosedur, kebijakan, dan wewenang yang dimiliki oleh stakeholder akan menimbulkan masalah baru: kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berangkat dari alasan diatas, pemberlakuan New Normal bukan tak mungkin akan dipandang sebagai sebuah kebijakan yang gagal. Terutama untuk pemerintah selaku stakeholder yang punya kuasa untuk mengeluarkan pelbagai kebijakan demi rakyatnya. Pada akhirnya, kebijakan public yang gagal dan tidak pro rakyat akan dianggap sebagai tindakan abuse of power.
Menurut Jean Rivero, abuse of power (dalam hukum administrasi negara) dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan/ kewenangan untuk melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau mementingan kepentingan pribadi atau kelompok. Selain itu, ia juga hendak menegaskan bahwa membangkang dari prosedur yang seharunya digunakan tetapi malah menggunakan prosedur lain untuk melaksanakan, itu juga adalah bentuk abuse of power.
Perlu dipahami juga bahwa praktik abuse of power tidak hanya bermakna suatu kekuasaan yang di pegang oleh sesorang terindikasi melakukan penyalahgunaan demi kepentingan sendiri, akan tetapi bisa juga bermakna ketika kekuasaan yang dimilikinya telah melukai hati rakyat.
Pemberlakuan New Normal yang ujungya akan menuntun orang-orang untuk hidup dengan cara baru, dan kebiasaan baru, bukan merupakan masalah selagi tidak merugikan kepentingan bersama dan tidak menimbulkan potensi abuse of power.
Jika alasannya adalah untuk melakukan pemulihan roda perekonomian yang sempat vakum, maka sungguh sangat tidak etis, mengingat banyaknya jumlah korban jiwa yang diakibatkan oleh pandemic ini. Menurut Nana Akufo Addo, bahwa ekonomi masih bisa dicari cara untuk di pulihkan, tapi nyawa tidak bisa ditawar dengan apapun. (***)
Artikel di kirim langsung oleh Penulis ke Redaksi