Oleh : DAUD YUSUF
Dosen Universitas Negeri Gorontalo
Rekamfakta.com , Gorontalo – Kini Indonesia telah berusia 77 Tahun, tepatnya 17 Agustus 2022. Sayangnya kita masih menyaksikan nelayan tradisonal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau kecil bernasib miris. Merek masih bergelut dengan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Hidupnya bergantung pada sumberdaya perikanan. Mereka memanen hasil laut buat dikomsumsi, diolah dan dijual dalam bentuk segar maupun olahan.
Mereka pun tergolong masyarakat rentan secara sosial ekonomi akibat ketidakpastian sumber kehidupan, dampak perubahan iklim, kerusakan ekologi hingga wabah penyakit semisal Covid-19. Sepanjang 2010-2019 jumlahnya merosot dari 2,1 juta (2010) menjadi 2,08 juta (2019) (BPS 2021).
Undang-Undang Perikanan No 45/2009, mengategorikan mereka sebagai perikanan skala kecil yang mengoperasikan kapal berbobot kurang dari 5 GT. Sayangnya, UU No 11/202o tentang Cipta Kerja status nelayan tradisional diamputasi dan tidak jelas.
Inilah salah satu contoh produk kebijakan pemerintah pemicu ketidakadilan bagi nelayan tradisional. Hingga mereka belum merdeka dari problem struktural yang membelitnya. Selama pemerintah masih memproduksi aneka kebijakan yang tidak adil bagi nelayan tradisonal. Selama itu pula, mereka tak bakal mampu keluar dari jurang kemiskinan hingga terpinggirkan. Meski rerata nilai tukar nelayan (NTN) 2021 sebesar 104,69 dan 107,07 hingga Juli 2022. Maknanya, indeks harga yang diterima lebih tinggi ketimbang yang dibayarkan alias tingkat kesejahteraannya membaik (BPS, 2022).
Kenyataan empiris, mereka masih terlilit utang dari juragang dengan bunga tinggi melampaui bunga bank. Penelitian ILO (2020) menyatakan bahwa praktik pinjam meminjam antara nelayan dengan juragan (bos) memiliki bunga lebih tinggi 5-7 kalinya dengan tingkat bunga tahunan 75-76 persen dalam setahun. Imbasnya, sepanjang hidupnya masih jauh panggang dari api kesejahteraan dan kemerdekaan ekonomi.
*Problem Ketidakadilan*
Nelayan tradisional mengalami ketidakadilan dari negara bersifat institusional maupun praksis.
Pertama, sepanjang era reformasi produk kebijakan dan peraturan perundangan serta praksisnya justru memiskinkan dan meminggirkan mereka. Contohnya, reklamasi (Permen KP No. 25/2019), privatisasi sumberdaya kelautan (Permen KP No. 24/2019), pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh asing (Permen KP No. 8/2019), perubahan zona inti konservasi menjadi kawasan Strategi Nasional (PP No. 27/2021), legalisasi cantrang (Permen KP No 18/2021), pembukaan kran ekspor benih lobster (Permen KP No 12/2020) dan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (UU Minerba No 3/2020).
Produk regulasi ini juga mendegradasi ekosistem wilayah pesisir dan pulau kecil hingga mengancam kepunahan biotanya. Imbasnya, memicu tragedi ekosistem (tragedy of ecosystem).
Kedua, negara acapkali mengadopsi paradigma pembangunan hegemonik berhaluan neoliberal usungan lembaga-lembaga keuangan dan NGO internasional. Mereka malah ikut mengintervensi kebijakan dan implementasinya demi memuluskan agenda-agendanya lewat program structural adjustment diserta guyuran utang luar negeri. Apakah bakal mensejahterakan nelayan tradisional atau tidak? Belum tentu. Contohnya, Seychelles. Negara ini mengadopsi total ekonomi biru ala Bank Dunia. Dampaknya, nelayan tradisional mengalami ancaman peminggiran hak dan aksesnya terhadap sumberdaya perikanan.
Pasalnya, ekonomi biru berorientasi pertumbuhan ekonomi ketimbang melindungi nelayan (Jentoft dan Chuenpagdee 2022).
Ketiga, pertautan antara kebijakan negara dan paradigma hegemonik nyatanya lebih melayani kepentingan bahan baku industri perikanan di negara maju yang berinvestasi di negara berkembang. Akibatnya, kehidupan nelayan tradisional hingga masyarakat lokal/adat terancam dibarengi deplesi sumberdaya ikan. Inilah pemicu tragedi komoditas (tragedy of commodities) (Ferguson et al 2022). Di sinilah pentingnya paradigma baru yang memosisikan “keadilan dan kesetaraan dalam pembangunan kelautan dan perikanan khususnnya di Indonesia.
Dimensi Keadilan Biru Frasa keadilan telah diwacanakan berbagai kalangan intelektual, gerakan masyarakat sipil dan organisasi nelayan di seluruh dunia. Salah satu yang mencuat adalah ide keadilan biru (blue justice). Jentoft (2022) menganggap keadilan biru (blue justice) sebagai hak asasi manusia. Ia telah menuangkan dalam buku barunya berjudul Blue Justice: Small-Scale Fisheries in a Sustainable Ocean Economy. Pemikiran sejatinya telah digaungkan dalam Konggres Perikanan Skala Kecil Dunia yang ketiga di Thailand tahun 2018. Menariknya, kongres ini bertepatan dengan Konferensi Ekonomi Biru Berkelanjutan di Kenya bulan November 2018.
Dalam bukunya, Jentoft menegaskan bahwa keadilan biru merupakan governability yang membutuhkan pengembangan institusi hak atas laut (the right to the sea) yang bersifat transdisiplin, terintegrasi, partisipatif, dan holistik.
Jika menilik historis dan perkembangannya, keadilan biru merupakan anti tesis dari ekonomi biru. Keadilan biru mengandung dimensi :
Pertama, kesetaraan pengakuan dan pertimbangan hak-hak, nilai, visi, pengetahuan lokal/tradisional, kebutuhan dan mata pencaharian nelayan tradisional dalam mengelola ruang dan sumberdaya kelautan.
Kedua, kesetaraan prosedural. Dimensi ini mengedepankan prinsip inklusivitas dan partisipatif dalam pengambilan keputusan serta menerapkan prinsip tatakelola perikanan yang baik. Diantaranya: transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, orientasi konsensus dan efisiensi kolektif.
Ketiga, kesetaraan distribusi dalam mengalokasikan manfaat sumberdaya kelautan secara adil, dan meminimalisasi kerugian nelayan tradisional.
Keempat, kesetaraan pengelolaan pada level kapasitas kepemimpinan dan kewenangan nelayan tradisional untuk mengelola ruang laut dan sumberdayanya.
Kelima, kesetaraan lingkungan. Dimensi ini memastikan perlindungan dan pemeliharaan keberlanjutan dan kualitas lingkungan pesisir dan laut, serta manfaatnya bagi metabolisme alam maupun umat manusia.
Keenam, kesetaraan kontekstual. Dimensi ini terbagi dua; (i) memajukan kesetaraan dan keadilan dalam produk kebijakan kelautan dan pratktiknya dari aspek ekonomi, pemerintahan, struktur sosial, perubahan iklim, kondisi lingkungan, serta aturan hukum; Atau (ii) malah melemahkan kesetaraan dan keadilan sosial sehingga meminggirkan dan mengalienasi ruang hidup nelayan tradisional.
Faktanya, WALHI (2022) menemukan bahwa dari 22 provinsi yang telah mengesahkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecl (RZWP3K) hanya 12 provinsi yang mengakui dan mengalokasikan ruang permukiman nelayan. Sisanya, 10 provinsi absen mengalokasikannya.
*Tranformasi Tatakelola*
Supaya nelayan tradisional terjamin hak hidup, dan hak akses atas sumberdaya, kelembagaan dan pengetahuannya, dibutuhkan transformasi tatakelola sumberdaya perikanan, kelautan dan ekosistemnya secara berkelanjutan yang khas Indonesia. Modelnya, adalah tidak sepenuhnya mengadopsi mentah-mentah pemikiran barat yang kapitalisme neoliberal maupun strukturalis/sosialisme.
Sebaliknya, tidak juga menerapkan model tatakelola lokalitas yang berbasis Nusantara dalam mengelola sumberdaya kelautan, perikanan maupun ekosistemnya seperti Sasi dan Awig-awig. Melainkan, sebuah model tatakelola bersifat hibrid sebagai hasil dekonstruksi dan rekonstruksi ontologi, epistemologi dan aksiologi antara tatakelola lokalitas berbasis geokultural dan geografi Indonesia dengan pemikiran barat seperti efisiensi dan inovasi.
Penulis menyebutnya tatakelola kelautan Nusantara (Nusantara ocean governance).
Dalam proses tranformasinya berkelindan prasyarat:
Pertama, mensinergikan dengan nilai-nilai kearifan dan pengetahuan lokal (local wisdom and knowledge values) masyarakat pesisir, nilai-nilai agama (religion values) maupun kelembagaan yang mengelola sumberdaya kelautan beserta ekosistemnya.
Kedua, mengadaptasi kekhasan biogeografi, oseanografi, sumberdaya, dan ekosistem laut tropis, sehingga tidak menimbulkan konflik pengelolaan, pemanfaatan, perebutan ruang maupun sumberdayanya.
Ketiga, mensinergikannya dengan nilai-nilai modern yaitu efisiensi kolektif (collective efficiency), inovasi dan kreativitas berbasis teknologi informasi (digitalisasi).
Keempat, mengedepankan demokrasi deliberatif dalam praksis tatakelolanya. Caranya, melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) sejak proses penyusunan kebijakan hingga pengambilan keputusan tanpa dominasi dan diskriminasi.
Caranya: (i), membangun konsensus bersama lewat dialog intensif; (ii) mengedepankan kesetaraan (equity) dan “inklusi sosial” sehingga menghindari kesenjangan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Secara ekonomi politik dan ideologis, gagasan model transformasi tatakelola ini bakal mewujudkan keadilan sosial-ekonomi, keadilan ekologi, dan keadilan iklim dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Secara substansial tatakelola kelautan Nusantara dengan gagasan keadilan biru malah saling bersinergi dan menguatkan dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang berkeadilan.
Imbasnya, nelayan tradisional Indonesia bakal menikmati keadilan hakiki dalam mengelola sumberdaya kelautan secara berkelanjutan, merdeka dan menyejahterakan hidupnya. Semoga!.
***/RF
Artikel ataupun Opinin yang Ditayangkan oleh Media ini, Merupakan Tanggung Jawab Penuh dari Penulis