Rekamfakta.com, Provinsi Gorontalo – Gubernur Gorontalo Rusli Habibie dilaporkan ke Polda Gorontalo, terkait dengan giat pembagian sembako di depan rumah jabatan Gubernur Gorontalo, menuai kritikan dari Ketua Studi Pancasila dan Konstitusi (SPASI) Fakultas Hukum Unisan Gorontalo, Fanly Katili. Senin, (20/04/2020).
Menurut Fanly, harusnya semua pihak tanpa terkecuali memusatkan perhatiannya, dalam rangka untuk menangani penyebaran virus yang mematikan ini. Namun dirinya menyayangkan, masih ada juga oknum-oknum yang kemudian mencari sensasi untuk sebuah kepentingan hasrat pribadinya, ditengah situasi pandemi yang serba sulit dan telah menggemparkan masyarakat dunia,
“Di Indonesia, Gorontalo satu-satunya daerah yang Gubernurnya dilaporkan oleh masyarakat, karena membagikan sembako untuk masyarakatnya, yang terdampak Covid-19. Sebuah fenomena yang sangat memiriskan. Alih-alih untuk penegakan sebuah aturan perundang-undangan, Gubernur Gorontalo dilaporkan ke Polda Gorontalo karena diduga, telah melanggar Pasal 93 UU No 6 tahun 2018 tentang Karantina kesehatan,” tutur Fanly.
BERITA POPULER
Fanly menjelaskan, dalam pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 menyebutkan, ” Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan karantina kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000″,
“Sedangkan dalam Pasal 9 ayat 1 yang dimaksudkan dalam UU tersebut mengatakan, “Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan”. Pertanyaanya, mengapa Gubernur dilaporkan? Siapa yang sebenarnya tidak mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan? Apakah Gorontalo pada saat pembagian sembako tersebut, telah mendapatkan legitimasi Pembatasan Sosial Berskala Besar dari Kementrian?,” Ujarnya.
Lebih lanjut Fanly mempertanyakan, adakah hubungannya antara kegiatan pembagian sembako itu, dengan pasal 9 ayat 1 dan Pasal 93 UU No 6 tahun 2018. Sedangkan, pada saat kegiatan itu Gorontalo masih dalam status Zero Covid 19. Apalagi jauh sebelum laporan tersebut dilayangkan, telah diklarifikasi dalam bentuk permohonan maaf oleh Gubernur Gorontalo atas insiden tersebut ke publik,
“Dikatakan bahwa, seyogyanya kegiatan tersebut bukan dilakukanlah didepan rudis, namun telah disiapkan armada utk diantarkan langsung, ke-56 titik pangkalan bentor yang tersebar di seluruh kota Gorontalo. Namun, karena antusias masyarakat yg datang secara spontan, ingin mendapatkan secepatnya kebutuhan sembako tersebut, maka agenda kemanusiaan itu terkesan kacau,” ujarnya lagi.
Namun kata Fanly, apakah hanya karena alasan tersebut lantas Gubernur Gorontalo dengan mudah dipidanakan?. Sangat sulit, mengingat bahwa pembagian sembako seperti yg dilakukan oleh gubernur Gorontalo ini sebelumnya pernah juga dilakukan oleh bapak Presiden Jokowi. Bahkan kesengajaan mengumpulkan masa dalam bentuk yang banyak pernah dilakukan oleh masyarakat Gorontalo dan masyarakat didaerah lain dalam moment pesta pernikahan dan sebagainya,
“Itupun polisi hanya dapat memberi himbauan untuk membubarkan diri, bukan menerapkan sangsi pidana. Olehnya, dalam pembagian sembako tersebut harus dapat dibuktikan terlebih dahulu, apakah ada pengumuman atau undangan resmi langsung dari Gubernur terkait dengan agenda didepan rudis tersebut. Apakah ada faktor kesengajaan pihak Pemprov dalam mengumpulkan masa yang berkerumun?,” tanya Fanly.
Baca juga :
https://rekamfakta.com/2020/04/18/walikota-bersama-kapolres-gorontalo-kota-bagikan-makanan-siap-saji-pada-masyarakat/
Fanly lebih lanjut menambahkan, sebenarnya dari pandangan kacamata hukum, sederhananya tidak ada korelasi antara laporan Polisi tersebut, dengan bunyi pasal 9 ayat 1, dan pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 untuk kondisi Gorontalo saat itu. Apalagi hingga saat ini Gorontalo merupakan daerah yang belum menerapkan Status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertujuan untuk membatasi aktifitas penduduk dalam suatu wilayah,
“Toh, jikapun telah diberlakukan PSBB, sangsi pidananya tidak dapat diterapkan. Ironisnya lagi, dalam laporan polisi itu mempermasalahkan juga penanganan masalah ratusan Jemaah Tablig, yang diisolasi oleh Pemerintah Provinsi dengan status ODP selama 14 hari. Katanya para ODP tersebut, tidak mendapatkan pelayanan yang layak, kesehatan para ODP tidak terkontrol, makanan tidak teratur, dan asupan Gizinya tidak terpenuhi, serta tidak melakukan protokol kesehatan Covid-19, dalam konteks pembenaran tudingan,” kata Fanly.
Fanly menambahkan lagi, Ini justru dalam pandangan hukum bisa menimbulkan masalah baru, jika tudingan tersebut tidak dapat dibuktikan oleh pelapor. Disini justru potensi pidananya yang sangat memungkinkan. Karena sangat besar peluang laporan balik oleh Gubernur, dengan tuduhan perbuatan Fitnah,
“Karena selain menimbulkan krisis kepercayaan Publik, juga bisa meresahkan para calon ODP yg nantinya akan ditempatkan di Mess Haji tersebut, dengan adanya isu yang dilakukan oleh pelapor. Dan ini sangat berpotensi mengacaukan upaya pemerintah dalam hal penanganan penyebaran Covid-19 atau Virus Corona di Provinsi Gorontalo,” tutupnya. (Red/RF)